Program Vaksin, Apa Salahnya Mengadopsi Model KPU ?

Oleh : Pudjo Rahayu Risan

Epidemiolog dari FKM Universitas Indonesia Pandu Riono menilai kekebalan komunal atau “herd immunity” baru akan tercapai jika efektivitas vaksin di atas 80 persen.

Sebagai gambaran, saat ini lebih dari 92.8 juta penduduk indonesia telah divaksin dua kali maupun satu kali. Dengan demikian, masih perlu gerakan dan perjuangan secara terstruktur, sistematis dan masif.

Apalagi ditambah pendapat Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Dicky Budiman mengingatkan bahwa masa krisis pandemi Covid-19 di Indonesia belum berakhir. Dicky menyebutkan masyarakat perlu tetap waspada, termasuk ancaman gelombang ketiga dan varian baru virus tersebut.

Menurut dia, kita memang sudah lewat puncaknya, namun masa krisis belum berakhir. Masa krisis delta ini rata-rata 12 minggu dan itu bisa sampai akhir September. Ancaman varian delta terutama di wilayah Jawa dan Bali belum selesai saat ini. Bahkan, penuh kemungkinan varian delta itu sudah masuk wilayah pedesaan.

Tidak bisa ditawar lagi, harus ditangani secara terstruktur. Arti kata terstruktur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah terstruktur sudah dalam keadaan disusun dan diatur rapi. Ter struktur maksudnya adalah sesuatu yang tersusun sesuai dengan struktur, urutan atau ketentuan yang berlaku.

Kongkritnya, penanganan wabah Covid-19 dan vaksinasi untuk mengejar kekebalan komunal atau “herd immunity” dilakukan oleh penyelenggara negara, pemangku kepentingan, terstruktur sejak dari Presiden, beserta perangkat dan pembantu-pembantunya, Gubernur, Bupati dan Walikota, Camat, Lurah dan Kepala Desa. Bahkan sampai RT dan RW.

Untuk jajaran TNI, khususnya Angkatan Darat, satu komando dari Kasad, Pangdam, Dandim, Danramil sampai dengan Bintara Pembina Desa atau Babinsa merupakan satuan teritorial TNI AD yang berhadapan langsung dengan masyarakat.

Sedangkan dikalangan Polri juga satu komando sejak dari Kapolri, Kapolda, Kapolres, Kapolsek sampai dengan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat atau Bhabinkamtibmas, ini sangat strategis sudah berjalan dalam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbasis mikro diharapkan menjadi ujung tombak.

Setelah terstruktur, maka semua kebijakan publik semestinya tersusun secara sistematis. Sistematis adalah segala usaha untuk menguraikan dan merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya, dalam hal ini obyeknya Covid-19 dan vaksinasi. Ini bisa diartikan pelaksanaan penanganan Covid-19 dan gerakakan vaksinasi dilakukan dengan perencanaan dan pengkoordinasian secara matang.

Sedangkan pelaksanaan penanganan Covid-19, terutama pada saat menggenjot tingkat vaksinasi yang masih jauh dari angka 80 persen dari penduduk Indonesia, maka harus dilakukan secara masif. Idealnya, secara masif dilakukan secara besar-besaran, serentak sebuah gerakan disimpul-simpul dimana masyarakat berada.

Dengan demikian, pelaksanaan penangan Covid-19 dan sekarang sedang fokus untuk menggenjot vaksinasi harus benar-benar terstruktur, sistematis dan masif.

Adopsi KPU

Untuk itu tidak ada salahnya mengadopsi cara kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika sedang memproses dari Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4 ) dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota yang telah dikonsolidasikan, diverifikasi, dan divalidasi oleh Menteri digunakan sebagai bahan penyusunan daftar Pemilih untuk Pemilihan.

Tahapan penyusunan daftar pemilih merupakan salah satu tahapan yang sangat krusial dan strategis bagi terselenggaranya Pemilihan Umum. Oleh karena itu, pemutakhiran data pemilih menentukan bagi tahapan Pemilu selanjutnya. Kita adopsi untuk mendata dengan benar seluruh penduduk yang harus menerima vaksin.

Dari DP4 sampai dengan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) melalui proses yang panjang. Hal ini beralasan karena jangan sampai warga negara yang memiliki hak suara sebagai pemilih tidak terdaftar dalam DPT. Satu suara akan menentukan hasil akhir pemilu. Betapa pentingnya satu suara.

Betul-betul riil, tidak terjadi dobel seseorang memiliki dua hak suara, tidak boleh satu orangpun yang memiliki hak tidak terakomodasi dan tidak ada orang yang sudah meninggal masuk DPT. Termasuk mutasi dari sipil ke TNI/POLRI atau sebaliknya dari TNI/Polri menjadi sipil.

Filosofi ini bisa dipakai ketika proses vaksinasi berjalan. Sekurang-kurang 80 persen bahkan diharapkan lebih, penduduk Indonesia yang memang harus divaksin terdaftar dan benar-benar divaksin.

Hal ini relevan dimana program vaksinasi yang tengah digencarkan Pemerintah saat ini bertujuan bukan hanya untuk mewujudkan kekebalan kelompok, melainkan untuk menurunkan angka kematian akibat Covid-19 dan kasus Covid-19 dengan gejala berat.

Kita kutip pendapat Pandu Riono, bahwa walaupun cakupan vaksinasi sudah 100 persen, tingkat imunitas populasi paling tinggi hanya 60 persen, padahal untuk memberikan perlindungan yang cukup besar harus lebih dari 80 persen. Untuk menyelesaikan pandemi, tidak bisa hanya mengandalkan vaksin semata, karena tidak ada satu pun vaksin di dunia yang memiliki efektivitas 100 persen dalam mencegah Covid-19.

Oleh karenanya, Pemerintah harus terus mendorong masyarakat mengurangi risiko penularan virus, dengan menerapkan protokol kesehatan 3M, mengidentifikasi warga terpapar dengan terus melaksanakan 3T (testing, tracing, treatment), serta percepatan vaksinasi.

Tidak kalah penting pelibatan stakeholders yang ada, seperti Partai Politik (Parpol). Kenapa Parpol sangat potensial untuk ikut mengeroyok gerakkan vaksinasi ? Kita paham Parpol juga berkepentingan karena mengharapkan konstituen yang sehat dan selamat untuk kepentingan pemilu.

Lepaskan persepsi cara pandang politik untuk ikut terlibat aktif menggerakkan masyarakat menerima vaksin. Apalagi struktur Parpol sampai ketingkat desa dan kelurahan.

Pada lain, masyarakat perlu terus disiplin terapkan protokol kesehatan (Prokes), tetap waspada, walau ada beberapa daerah yang turun menjadi level 3 dan 2, jangan lengah, risiko Covid-19 masih ada.

(Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang dan pengajar tidak tetap STIE Semarang serta STIE BPD Jateng)

Halaman ini telah dilihat: 6 kali
Mari berbagi:

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *