Polri Membangun Kepercayaan Publik

SEMARANG (iPOLICENews) – Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo di dalam penutupan Dikreg Sespimti, Sespimmen dan Sespimma, Rabu 27 Oktober 2021 di Lembang (Tribun Jateng 29 Oktober 2021) menyatakan, “Maraknya kasus penyimpangan yang dilakukan anggota beberapa pekan terakhir membuat kepercayaan masyarakat terhadap Polri menurun pada Oktober 2021.” nampaknya perlu disikapi dengan kedalaman profesi untuk di telaah melalui kesadaran moralitas hukum serta moralitas spiritual. Kepercayaan dapat diperoleh dengan berbagai pendekatan, yang bagi Polri bisa dilakukan melalui ;

  1. Prilaku berprofesi
  2. Prestasi dalam berprofesi
  3. Kedekatan dengan siapapun dalam berprofesi
  4. Penampakan yang “Sehat” dalam berprofesi
  5. Cara berkomunikasi dalam berprofesi dan lain sebagainya.

Dikala prilaku berprofesinya menggunakan kekerasan apa yang terjadi?? Ada beberapa akibat yang dapat berpengaruh terhadap kinerja Polri, yaitu ;

  1. Terjadi kegelisahan dan ketakutan didalam masyarakat
  2. Menurunya kepercayaan masyarakat terhadap Polri
  3. Perlawanan masyarakat terhadap Polri baik perorangan, kelompok dan massa
  4. Hilangnya dukungan secara sosial dan po;itik terhadap Polri
  5. Menurunya pamor profesi kepolisian di mata masyarakat, lembaga hukum, organisasi kemasyarakatan dan lain-lain.

Kesadaran bahwa polisi di bentuk dan dibesarkan bukan sebagai penguasa (dibidang hukum) tetapi justru dengan karakter dasarnya sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat, yang seharusnya menjadi lebih humanis.

Fenomena penyimpangan dalam bentuk kekerasan atau pun yang lain, bisa jadi bahwa reformasi birokrasi dalam tiga pilar (Reformasi Struktural, Kultural dan Instrumental) di dalam institusi Polri belum tuntas sama sekali. Bahwa di dalam gerak reformasi Polri masih menyisakan beberapa stagnasi ‘Kultur’ yang relatif mengalami perubahan kecil didalam kehidupan profesinya pada skala individual. Padahal ukuran sukses reformasi Polri dimata masyarakat terletak pada keberhasilan merubah budaya dan prilaku berprofesi secara perorangan maupun kelembagaan, dengan semakin meguatnya pelayanan, kemitraan dan humanisme. Ada beberapa kecenderungan penyimpangan prilaku berprofesi yang perlu mendapatkan porsi perhatian dan pengawasan lebih sebagaimana di bawah ini,

  1. Violence Police Profession Disorder : Suatu penyimpangan berprofesi dalam bentuk kekerasan prilaku yang dilakukan oleh anggota Polri terutama di dalam penegakan hukum.
  2. Denial Police Profession Disorder : merupakan bentuk pengingkaran berprofesi yang dilakukan oleh anggota Polri, karena menguatkan kepentingan pribadi, atau kepentingan lain diluar profesi Kepolisian.
  3. Profiting Police Profession Disorder : Bentuk prilaku berprofesi, yang lebih banyak mencari keuntungan pribadi dalam menjalankan pekerjaannya.
  4. Dealing Police Profesion Disorder : Penyimpangan berprofesi dengan cara membuat kesepakatan gelap (Tidak Legal), yang menguntungkan pihak lain, tetapi merugikan Kepolisian, terutama didalam proses penegakan hukum.
  5. Shirking Police Profession Disorder : Adalah bentuk-bentuk penghindaran kewajiban dalam pelaksanaan tugas, yang berujung Indisipliner dalam Insubordinasi (Pemberonakan terhdap atasan).

Menurut Kapolri, kunci pengembalian dan penguatan kepercayaan masyarakat ada di pundak para pemimpin (Kepala) di semua tingkatan. Kalau “Kepalanya” bersih badan dan ekornya pun bersih pula, filosofi Jawa menjadi relevan untuk mengatasi penyimpangan anggota Polri, yaitu, “Ing Ngarso Sung Tulodho”  yang dapat diartikan, pemimpin berkewajiban memberikan keteladanan berprofesi dengan baik.

Lima poin penyimpangan di atas harus dipetakan kemungkinan terjadinya di tiap-tiap kesatuan dan unit-unit tugas Kepolisian. Tentu masih banyak pekerjaan rumah (PR) bagi Polri, bahwa pembaharuan budaya, sikap mental, karakter, kepribadian dan kebiasaan berprofesi didalam proses reformasi birokrasi, merupakan dinamika managerial, kelembagaan dan kepemimpinan yang paling rumit dan memerlukan ketekunan dan keteguhan bagi siapapun pemimpin Polri tertinggi sampai dengan terendah, yang merupakan komitmen kepemimpinannya. Jangan sampai kepalanya busuk yang akan membusukan badan dan ekornya.


Oleh : Drs. SA SOEHARDI

(Ketika Menjabat Direktur Samapta Polri di Mabes Polri tahun 1997)

Semarang, 30 Oktober 2021

Halaman ini telah dilihat: 133 kali
Mari berbagi:

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *