SEMARANG (iPOLICENews) – Sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2004, atau selama 17 tahun Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) selalu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam tiga tahun terakhir, RUU PPRT mengalami kemajuan dan masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020, 2021 dan 2022.
Selama kurun waktu tersebut, draft RUU PPRT telah berulang kali mengalami revisi hingga akhirnya dapat diterima berbagai pihak, termasuk sejumlah fraksi yang semula menolak atau keberatan dengan sejumlah pasal dalam draft RUU PPRT.
Pada 1 Juli 2020 Badan Legislasi (Baleg) DPR sepakat mengusulkan RUU PPRT menjadi inisiatif DPR dan telah dipaparkan di rapat Badan Musyawarah (Bamus) pada tanggal 15 Juli 2020. Sayangnya, tidak seperti usulan legislasi yang lain, RUU PPRT tidak pernah dijadwalkan menjadi agenda untuk dibahas di Sidang Paripurna.
Menanggapi hal tersebut, Puluhan masa yang tergabung dalam Jaringan Jawa Tengah yang tediri dari berbagai unsur organisasi seperti, Serikat PRT Merdeka, JALA PRT, LBH Semarang, LRC KJHAM, LBH APIK Semarang dan SBMI Jawa Tengah menggerlar “Aksi Rantai Diri”, Selasa (14/12/21) pukul 10.00 Wib di Gerbang DPRD Jawa Tengah. Aksi ini merupakan aksi serentak yang dilakukan di berbagai daerah, seperti Jakarta, Makassar dan Medan.
Menurut Korlap Aksi, Nur Kasanah, selama satu setengah tahun ini Pimpinan DPR justru telah mengagendakan usulan-usulan RUU lain yang belakangan masuk Bamus, jauh setelah RUU PPRT diusulkan ke Bamus.
“Dan, ini terjadi dalam rapat Bamus pada pekan lalu. Tugas legislasi Badan Legislasi (Baleg) DPR terkait pengusulan (RUU PPRT) sebagai hak inisiatif DPR dihentikan oleh Pimpinan DPR,” ungkapnya.
Menurutnya, dua fraksi yang menjadi mayoritas di DPR, yakni Fraksi Partai GOLKAR (FPG) dan Fraksi PDIP (FPDIP) telah menolak membawa RUU PPRT untuk dibahas di Rapat Paripurna. Ia juga mengeluhkan perlakuan diskriminatif terhadap usulan Baleg ini menunjukkan adanya ketidakberpihakan dari pimpinan DPR khususnya dari FPG dan FPDIP kepada nasib jutaan PRT di Indonesia.
Selain itu, ia juga mengatakan, dugaan adanya indikasi pelanggaran kode etik DPR seperti diatur UU nomor 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) terkait tugas Pimpinan DPR. Dimana dalam pasal 86 ayat (1) UU MD3 disebutkan Tugas Pimpinan DPR adalah memimpin Sidang DPR dan menyimpulkan hasil Sidang untuk diambil keputusan.
“Sedangkan ayat (2) menyebutkan Pimpinan DPR menyusun rencana kerja melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR. Dugaan pelanggaran etik ini kemudian berdampak kepada potensi pelanggaran pasal 81 huruf e UU MD3 yang menyatakan anggota DPR berkewajiban “memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat” dan Pasal 81 huruf f UU MD3 yang menyatakan Anggota DPR berkewajiban “mentaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara”.” Ungkapnya.
Ia menambahkan, amanat-amanat itulah yang dicoba dipenuhi oleh para pengusul RUU PPRT di Baleg dalam kapasitas perorangan maupun kelembagaan. Namun, kelalaian Pimpinan menjadi penghalang para anggota Baleg untuk melaksanakan kewajiban mereka sebagaimana pasal 81 (f) UU MD3 di atasmpatut disesalkan.
“Terhentinya proses legislasi RUU PPRT ini juga menunjukkan bahwa Pimpinan DPR, khususnya dari Fraksi PDIP dan FPG mendudukkan dirinya sebagai agen perbudakan modern yang membiarkan situasi kerja yang tidak layak dan berbagai bentuk kekerasan terhadap sekitar 4,2 juta PRT di Indonesia –mayoritas atau 84% adalah perempuan, 28% anak terus berlangsung secara sistematis,” ungkapnya.
Sementara itu menurut Alvin Afriansyah dari LBH Semarang, mengataan, Provinsi Jawa Tengah merupakan urutan ketiga jumlah PRT terbesar 630.000 (data ILO 2015) setelah Jawa Timur dan akan terus meningkat. Kasus kekerasan terhadap PRT yang dicatat oleh JALA PRT hingga November 2021 ini sejumlah 581 kasus, belum lagi kasus yang tidak terlaporkan. Hal tersebut sangat bertentangan dengan slogan yang digaungkan pimpinan DPR selama ini, yakni untuk selalu memberikan perlindungan terhadap semua pihak termasuk perempuan dan tidak meninggalkan siapapun dalam pembangunan.
“Sebaliknya sikap tindakan Pimpinan DPR dari FPDIP dan FPG justru membiarkan kaum perempuan yang bekerja menjadi PRT menjadi pihak yang selalu dikorbankan dalam pembangunan. Hal ini sangat bertentangan dengan ideologi kemanusiaan dan keadilan social yang selalu diperjuangkan proklamator Sokarno,” Ujar Alvin. (Nn)