Warga Wanagopa Desa Kreman Nyadran Di Makam Mbah Semedo Tegal

TEGAL (iPOLICENews) – Warga Dukuh Wanagopa Desa Kreman Tegal dipimpin H.Sueb beramai ramai mengunjungi makam Mbah Semedo. Dengan maksud nyadran istilah masyarakat setempat, tapi intinya mereka bertawasul di makam Mbah Semedo dengan tujuan memohon pertolongan Allah SWT agar hujan segera turun sehingga sawah para petani tidak kekurangan air.
Selasa ( 3/12/2024 )

Sebagaimana disampaikan Rois Suriyah PR Wanagopa Ustadz Sodikin “Tawasul adalah cara umat Islam untuk berdoa kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara atau wasilah. Wasilah adalah segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah agar doa dikabulkan”.

Tawasul dilakukan dengan cara: Menjadikan sesuatu yang memiliki nilai, derajat, dan kedudukan tinggi sebagai perantara Memohon kepada Allah SWT dengan cara lebih sopan.
Menggunakan perantara orang-orang yang dekat kepada Allah SWT.
Tawasul biasanya dilakukan sebelum tahlil atau wirid. Tawasul ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, malaikat, serta para wali yang dianugerahi karomah. Tawasul bukan berarti meminta kepada orang yang ditawasuli, melainkan dilakukan dengan tetap mengharapkan rahmat dan pertolongan Allah SWT semata.

Tawasul yang diselenggarakan oleh warga masyarakat duku Wanagopa Desa Kreman Kecamatan Warureja Kabupaten Tegal dipimpin pak Yusro juru kunci makam Mbah Semedo sejak tahun 2000 .

Sebagai informasi Semedo merupakan sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal merupakan daerah cukup subur dengan hutannya yang lebat. Terhampar tumbuhan hijau royo-royo di atas tanah berbukit. Tidak heran jika wilayah ini pada zaman peralihan antara zaman kewalian ke zaman kemerdekaan, menjadi tempat persembunyian dan menyusun segala rencana perjuangan.

Menurut data yang dihimpun dari sesepuh di Desa Semedo, wilayah ini tatkala menjadi sebuah desa berlangsung pada tahun 1569 M. Saat itu datang seorang Pangeran Surohadikusumo. Ia berasal dari Kerajaan Pajang berkeinginan menempati dan berdiam di bukit, hingga wafat pada tahun 1679 M.

Semenjak wafatnya, wilayah ini digunakan sebagai bersemedi. Dari sinilah, masyarakat sekitar diberi nama “Semedi”. Entah mengapa nama Semendi mendadak berubah menjadi “Semedo”, tidak terlacak siapa gerangan yang pertama kali menjuluki nama itu. Tiba-tiba berubah begitu saja hingga sekarang.

Mengutip sumber dari Bappeda Kabupaten Tegal, kisah Pangeran Surohadikusumo cukup dramatis. Suatu hari pada masa Walisanga, seorang puteri Sultan dari Kerajaan Cirebon mengalami sakit tidak kunjung waras. Pontang-panting Sang Sultan memburu tabib yang mampu menyembuhkan puterinya. Banyak tabib berdatangan namun tak satupun yang mempu mengobati. Solusi yang kemudian ditempu, Sang Sultan menyelenggarakan sebuah sayembara. Isi dari sayembara itu, barang siapa yang dapat menyembuhkan penyakit putrinya akan mendapat hadiah.

Berita sayembara itu bergema ke mana-mana. Kanjeng Pangeran Surahadikusumo dari Jayakarta, yang memang profesinya sebagai pendakwah Islam mendengar kabar itu senyampang ia memiliki keahlian ketabiban. Ia pun berniat membantu sang Sultan.

Datanglah Pangeran Surahadikusumo mememui Sang Sultan. Singkat kata, dengan seijin Allah, sang puteri Sultan dapat disembuhkan. Tapi apa yang terjadi? Ternyata Sang Sultan ingkar janjinya dan sama sekali tidak segera memberi hadiah kepada Pangeran Surohadikusumo. Ketika ia mencoba menghadap untuk meminta hadiah yang dijanjikan, bukannya medapat sambutan menyenangkan, sebaliknya justru ia dihardik untuk pergi dari wilayah Cirebon.

Karena menanggung malu ia mengalah dan pergi ke arah timur. Ia menemukan tempat yang cocok untuk tinggal, yaitu di hutan belantara yang belakangan bernama Semedo. Ia hidup tenang hingga akhir hayatnya untuk mengajarkan Ilmu Agama Islam di sekitar wilayah tersebut, dan mendapat julukan Mbah Semedo.( Sugiarto/Alex/IPN )

Halaman ini telah dilihat: 47 kali
Mari berbagi:

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *