POLITIK (iPOLICENews) – Fenomena adanya kotak kosong sudah ada sejak Pilkada 2015. Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang isinya mengenai satu paslon juga dapat mengikuti pilkada.
Keputusan tersebut untuk mengatasi kebuntuan jika hanya ada satu paslon dalam pilkada.Maka kotak kosong dalam pilkada akan memberikan alternatif jika pemilih merasa tidak cocok atau tidak kenal pada figur paslon (tunggal).
Menyoroti Kotak kosong dalam pemilu Pilkada mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jogja , Yusfi Wawan Sepriyadi, yang juga berprofesi sebagai wartawan, menyampaikan pandangan kritisnya terkait fenomena ini.
“Kotak kosong bukanlah suatu pilihan. Itu hanya cara untuk mengatasnamakan demokrasi,” tegas Yusfi dari Birmingham , Inggris , melalui catatan tertulisnya kepada Police News Sabtu (16/11).
Menurutnya Yusfi, kotak kosong justru mencerminkan kemunduran demokrasi, di mana rakyat tidak diberikan pilihan yang benar-benar substansial.
Yusfi menambahkan, demokrasi yang sehat membutuhkan persaingan ide dan gagasan dari para kandidat, bukan sekadar formalitas antara kandidat tunggal melawan kotak kosong. Hal ini, menurutnya, mengindikasikan lemahnya sistem politik dan kurangnya regenerasi kepemimpinan yang kompetitif di Indonesia.
“Ketika kotak kosong dimunculkan, itu seolah-olah menjadi pembenaran bahwa rakyat tetap memiliki suara. Padahal, ini hanya mengerdilkan esensi demokrasi itu sendiri,” lanjutnya.
Yusfi juga mengajak para pemuda dan aktivis untuk lebih proaktif dalam mendorong hadirnya calon-calon pemimpin alternatif yang mampu membawa perubahan. Dengan begitu, kata dia, demokrasi bisa kembali kepada fitrahnya sebagai sarana perwujudan kehendak rakyat, bukan sekadar formalitas politik belaka.
Pernyataan Yusfi mendapat perhatian berbagai pihak yang turut hadir dalam diskusi. Beberapa peserta bahkan menyampaikan keprihatinan serupa dan mendorong perbaikan mekanisme pemilu agar lebih mencerminkan semangat demokrasi sejati.
Fenomena kotak kosong memang menjadi perdebatan serius dalam lanskap politik Indonesia. Apakah ini solusi sementara atau ancaman bagi demokrasi? Waktu akan menjawabnya. ( Alex/IPN )