SRAGEN (iPOLICENews) — Fahrico Putra Ruci Pamungkas (16), pelajar kelas X salah satu SMK swasta di Gemolong, Sragen, dikenal sebagai anak berbakti dan penyayang keluarga. Tak ada yang menyangka, kunjungannya ke kawasan Museum Sangiran bersama sang ayah pada Senin sore (6/10/2025) menjadi momen terakhir kebersamaan mereka sebelum ia berpulang selamanya.
Ayahnya, Jumadi (42), tak kuasa menahan air mata ketika menceritakan kembali detik-detik terakhir sang putra sulung. Sehari sebelum meninggal dunia, Rico — sapaan akrab almarhum — diajak membantu ayahnya memasang lampu di wilayah Kaliyoso, Kalijambe. Dalam perjalanan pulang, remaja itu sempat meminta dua hal sederhana: jus jambu dan jus mangga, serta keinginan mengunjungi Museum Sangiran, tempat yang belum pernah ia kunjungi meski letaknya tak jauh dari rumah.
“Saya sempat menyesal tidak mengajak masuk ke dalam museum. Kami hanya berputar-putar di luar. Siapa sangka, itu ternyata permintaan terakhirnya,” ucap Jumadi lirih di RSU Islam Yakssi Gemolong, Selasa (7/10/2025).
Malam harinya, sekitar pukul 20.00 WIB, Rico berpamitan kepada orang tuanya untuk mengikuti latihan pencak silat di kebun kosong sekitar 200 meter dari rumah. Ia baru sekitar tiga bulan bergabung dalam perguruan tersebut.
Tak lama berselang, tepat pukul 21.30 WIB, Jumadi mendapat kabar dari pelatih bahwa anaknya mendadak jatuh sakit saat latihan. Rico segera dilarikan ke klinik terdekat sebelum dirujuk ke RSU Islam Yakssi Gemolong. Namun, takdir berkata lain — Rico menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 22.00 WIB.
“Awalnya saya kira hanya masuk angin biasa. Tapi ternyata, dia tidak tertolong. Saya tidak bisa berkata apa-apa,” tutur Jumadi dengan suara bergetar.
Kenangan tentang Rico begitu membekas bagi keluarga. Ia dikenal penyayang terhadap adiknya. Bahkan, susu bantuan dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diterimanya di sekolah sering dibawa pulang untuk sang adik, padahal adiknya pun mendapat jatah yang sama.
“Dia juga sempat bilang agar atap bocor di belakang rumah segera diperbaiki. Itu pesan terakhir yang saya ingat,” ujar Jumadi menahan haru.
Jenazah Rico kini disemayamkan di rumah duka di Kalijambe. Keluarga memutuskan tidak melakukan autopsi dan memilih mengikhlaskan kepergian sang putra.
“Kami sudah ikhlas lahir batin. Jika ada kesalahan dari anak saya, mohon dimaafkan,” tambah Jumadi.
Sementara itu, Kapolres Sragen AKBP Dewiana Syamsu Indyasari melalui Kapolsek Kalijambe Iptu Joko Margo Utomo menyampaikan bahwa kasus ini masih dalam proses penyelidikan. Polisi telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) serta memeriksa enam saksi, termasuk pelatih pencak silat dan rekan latihan korban.
“Indikasi awal, korban ikut latihan bersama empat temannya. Kami masih mendalami penyebab pastinya. Semua keterangan dan bukti masih dikumpulkan,” terang Iptu Joko.
Aparat dari Polsek Kalijambe, Polsek Gemolong, dan Polres Sragen tampak berjaga di area RSU Islam Yakssi Gemolong pada Selasa malam, memastikan seluruh proses berjalan sesuai prosedur.
Kasus meninggalnya remaja setelah latihan bela diri bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), sedikitnya 9 kasus serupa terjadi sepanjang 2024–2025. Mayoritas disebabkan oleh keletihan ekstrem, benturan fisik, atau lemahnya pengawasan saat latihan.
Pakar olahraga dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Andika Prawira, menekankan pentingnya pelatih memastikan prosedur keselamatan dan pemeriksaan kesehatan berkala bagi setiap peserta. “Bela diri mengajarkan disiplin dan kontrol diri. Namun, latihan intens tanpa pengawasan medis bisa berisiko fatal,” ujarnya.
Kini, kisah kepergian Fahrico Putra Ruci Pamungkas menjadi pengingat bahwa di balik semangat belajar dan berlatih, selalu ada kebutuhan untuk menjaga keselamatan dan kasih sayang keluarga.
Bagi Jumadi, perjalanan singkat ke Sangiran akan selamanya menjadi kenangan terakhir bersama anak yang tak sempat melihat museum kebanggaan daerahnya. (Joko S/IPN)